Minggu, 05 Januari 2014

partisipatif aktif learning di boarding school mbangun desa



Sekolah tak ubahnya miniatur masyarakat.
Suasana sekolah anak mempengaruhi kondisi anak di masyarakat.
sumber : sekolah untuk kehidupan

seminggu sebelum masa liburan akhir semester, seorg guru menemui kepala sekolah menagih janji. "Pak, saya mau mengajukan cuti ssuai dengan janji Bapak dulu". Memang,diawal semester lalu guru yang bersangkutan pernah mengajukan permohonan bahwa diakhir semester ia akan berlibur bersama keluarga. Kebetulan tanggal keberangkatannya lebih awal,karena itulah ia minta izin.
"Oh ya, dulu anda berjanji bahwa akan menyelesaikan tugas-tugas anda secara tuntas sebelum mengambil cuti kan?" jawab kepala sekolah sambil balik bertanya. "Sudah pak, Jawabnya.
sambil menatap wajah guru tersebut, kepala sekolah lalu melanjutkan bicaranya. "OK, sekarang anda tunjukkan bukti bahwa tugas-tugas anda di semester ini sudah selesai".
"Baik Pak, catatan harian ini membuktikan bahwa semua materi pelajaran telah saya sampaikan kepada siswa disemua kelas yang diajar.ini daftar nilai akhir yang akan dimasukkan ke raport,semuanya lengkap pak," jawab guru dengan yakin.
"Oke, saya tahu pada setiap kali melakukan supervisi, anda telah menyampaikan semua materi pelajaran, namun saya belum dapat laporan bagaimana dengan hasil pencapaian kompetensi anak, terutaram si wahyu yang beberapa bulan yang lalu mengalami hambatan, bagaimana dia sekaran? tanya kepala sekolah lagi.
"Sudah pak, Wahyu sudah dua kali mengikuti remedial, sekarang nilainya sudah mencapai KKM Pak"
"Hmmm,baik, sekarang tolong panggilkan wahyu kesini" kata kepala sekolah.
ketika si wahyu datang, kepala sekolah memberikan selembar kertas,wahyu diminta mengerjakan sesuatu. kesimpulan kepala sekolah, ada beberapa kompetensi wahyu yang belum tuntas, padahal seharusnya sudah tuntas sesuai dengan batas minimal yang ditetapkan oleh guru.
"Menurut laporan Ibu tadi, semua tugas telah selesai, tapi kenyataannya si wahyu belum bisa apa-apa". tanya kepala sekolah.
ibu guru berupaya meyakinkan kepala sekolah dan melakukan pembelaan diri. salah satu alasan yang dianggapnya paling tepat adalah , "Wah itu bukan salah saya Pak, sewaktu saya menjelaskan topik yang berkaitan dengan kompetensi yang Bapak tanyakan itu, si Wahyu selalu main-main Pak, dia tidak mau konsentrasi ke pelajaran, dan saya sudah mengingatkan dia waktu itu, tapi dia membandel. wahyu itu memang terkenal bandel dan malas Pak", jawab guru, sambil berharap kepala sekolah memaklumi bahwa itu bukan kesalahan dia sebagai guru, tapi murni kesalahan anak.
kepala sekolah makin memperlihatkan wajah serius. lalu ia menceritakan sebuah kisah tentang seorang juragan yang menyewa pemburu profesional untuk menangkap harimau di hutan. "Kamu saya panggil kesini karena kamu terkenal sebagai pemburu profesional. saya ingin mengoleksi boneka harimau yang asli, untuk itu kamu saya bayar untuk mendapatkan harimau itu. ini senjata lengkap dengan 20 peluru", kata juragan itu kepada pemburu yang lolos seleksi. lalu si pemburu berangkat kehutan sambil membayangkan bayaran yang tinggi.
setelah beberapa hari, sang pemburu profesional kembali dari hutan dan menagih janji sang juragan.
"Bos, mana bayaran saya? tanya si pemburu
"Bayaran apa?" jawab sang juragan berlagak pilon.
"Wah Bos kan berjanji akan membayar saya, dan saya telah melaksanakan tugas saya."
"Lho apa bukti bahwa kamu telah melaksanakan tugas-mu? kata juragan.
"ini peluru yang juragan kasih ke saya sudah habis saya tembakkan, kata sang pemburu.
"Lha harimaunya mana? tanya juragan.
"Nah, ini dia Bos, waktu saya tembak, harimaunya meloncat dengan lincah, berkali-kali saya tembak, tapi harimaunya memang hebat, ia bisa mengelak dari terjangan peluru, sampai pelurunya habis Bos", jawab si pemburu dengan enteng.
Si Juragan tidak mau kalah, "Kalau menembak harimau yang sedang Tidur, atau harimau jinak yang tidak bisa melompat dengan cepat, saya tidak perlu menyewa pemburu profesional seperti kamu. Justru karena ketangkasan harimau seperti itu, maka saya menyewa kamu!" jawab juragan.
Diakhir cerita, kepala sekolah menegaskan, jika untuk mendidik ANAK PINTAR,RAJIN,PATUH dan PENURUT, saya tidak perlu mempekerjakan GURU PROFESIONAL seperti ANDA. Tuntasnya tugas seorang GURU bukan diukur dari habisnya materi pelajaran disampaikan kepada siswa.melainkan dibuktikan dengan peningkatan kompetensi yang dikuasai siswa.
Keberhasilan guru menuntaskan tugasnya dilihat dari perubahan perilaku anak, yang tadinya tidak pintar menjadi pintar,tadinya tidak tahu menjadi tahu,tadinya tidak bisa menjadi bisa, malas menjadi rajin,nakal menjadi baik, dan seterusnya. semua anak berubah ke arah yang makin baik. "Itu ukuran ketuntasan tugas seorang guru yang Profesional, apalagi anda sudah menerima tunjangan SERTIFIKASI". kata kepala sekolah.
cerita di atas mengingatkan kita bahwa selama ini yang disebut sebagai "Kurikulum tuntas 100 %" adalah tuntasnya materi disampaikan oleh guru, bukan tuntas dikuasainya oleh anak. Dalam pemahaman guru pada umumnya, tuntas kurikulum berbeda dengan daya serap siswa, dan selama ini dianggap wajar jika ada kesenjangan antara ketuntasan kurikulum dengan daya serap siswa. sementara tingkat daya serap juga hanya diukur dengan nilai angka, tidak dijelaskan bagaimana yang sudah dikuasai dan mana yang belum dikuasai anak.
Kurikulum bukan sekedar deretan materi yang harus diajarkan, melainkan juga proses bagaimana mengkondisikan agar setiap ana menguasai kompetensi dasar dalam batas toleransi yang ditetapkan. dalam hal ini kurikulum juga berperan sebagai integrator.
sebagai integrator, kurikulum mengintegrasikan berbagai sub-sub kemampuan menjadi suatu kemampuan yang utuh. dalam kontek ini, tidak ada kemampua yang lebih penting dari pada yang lain, semua memiliki konstribusi sesuai porsinya masing-masing.
Eric Jensen menyimpulkan bahwa proses pembelajaran yang hanya bertujuan untuk menuntaskan materi dengan menggunakan ceramah satu arah, biasanya dihari pertama anak mendapatkan informasi tersebut, si anak merasa dapat banyak sekali pengetahuan, namun semua informasi itu pelan-pelan akan menghilang di hari ke-14.
Akan tetapi, jika proses pembelajaran itu mengarah pada penguasaan kompetensi dimana siswa sangat aktif mengembangkan kemampuannya, dihari pertama seolah-olah materi yang didapatkan anak hanya sedikit, namun ia akan terus berkembang menanjak di hari ke-14.
Nah, jika demikian, tidak akan terjadi masalah jika tiga tahun kemudian anak diuji melalui UN. mereka diuji pada saat  penguasaan kompetensi berada di PUNCAK, sebaliknya, pembelajaran konvensional akan membahayakan anak karena semua informasi akan hilang dari memori di hari ke-14. Bagaimana dengan 3 tahun kemudian ?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar