Jumat, 17 Januari 2014

MIMPI ITU BELUM REDUP DIHATINYA


MIMPI  ITU BELUM REDUP DIHATINYA
by : budi teman sekamar moe
Lirih ia berrnyanyi sembari memetik senar gitar yang Ia pinjam dari teman sekamarnya di asrama PLKM Boarding School “ Mbangun Desa”. Tak tampak diwajahnya jika ia memendam berjuta lara dalam hatinya. Hari – harinya dihabiskan seperti layaknya peserta didik lainnya dari PLKM Boarding School “ Mbangun Desa”, berbagi tugas piket, dan juga belajar menjadi kader pembangun desa, dengan harapan kelak dihari tuannya ia tak mau lagi melihat anak – anak desa merasakan apa yang ia rasakan saat ini.
Beni Wiji Purwanto, adalah nama yang cukup sederhana, yang diberikan oleh kedua orang tuannya ketika Ia dilahirkan. Anak asal desa Rangkah Kecamatan Buayan Kabupaten Kebumen ini, kini tengah merajut mimpi di tempatnya kini Ia belajar yakni PLKM Boarding School “ Mbangun Desa”. Secerca harapan kembali tersambung setelah lama terputus karena keadaan.  Keadaan yang memaksannya menjadi seorang anak yang hidup tanpa mimpi, karena dahulu ketika ia belum bersekolah di PLKM Boarding School “ Mbangun Desa” bermimpi saja ia pun enggan.
Pengusaha sukses, adalah mimpinya kini setelah bersekolah di PLKM Boarding School “ Mbangun Desa”  , mimpi yang baginya sangat berharga, karna hanya itulah satu – satunya yang ia miliki saat ini selain keluarga yang orang sekitar rumahnya menganggap sebagai keluarga yang tak berguna. Lama sudah ia tak merasakan dekapan hangat sang wanita yang melahirkannya di dunia ini, ibu yang kata orang adalah malaikatnya kini terbelenggu oleh kerasnya rantai pasungan. Ibundanya yang bernama ibu Sarinah sudah lama mengidap penyakit kejiwaan, rasa takut dan tertekan sendari kecil membuatnya hidup dalam kebisuan. Ini yang membuat Beni jauh dari sekitarnya,maupun sanak familinya. Beni yang selalu di cemo’oh, dan juga beni yang selalu di salahkan ketika ibundanya meronta mengamuk membuat para tetangganya terganggu.
Tapi apakah salah beni, sehingga ia didiskriminasi oleh sekitarnya, padahal seharusnya merekalah teman dan juga pelipur lara baginya. Ayahnya yang bernama pak Ratno yang sehari hari bekerja sebagai penderes kelapa hanya bisa mengelus – ngelusi rambutnya yang ikal itu ketika ia mengadu banyak yang melecehkan keluargannya. Beni pun sadar dengan kondisi ekonomi keluargannya yang rendah serta ditambah lagi dengan keadaan ibunya yang seperti itu, membuatnya menjadi pribadi yang tak banyak tingkah.
Selulus SMP, pada tahun 2012 lalu ia memutuskan untuk tidak lagi bersekolah, karena ia merasa iba melihat ayahnya yang harus membanting tulang demi menghidupi tiga orang anaknya. Kala itu Beni bekerja sebagai penjual batagor bersama saudaranya dikota Gombong, kebumen. Meski Ia menjadi seorang pedagang batagor, sesungguhnya dalam hati kecilnya ingin merasakan bersekolah seperti anak yang lain, namun sekali lagi, latar belakangnya terus menghantui, sehingga ia pun tak berani meminta bersekolah lagi kepada sang ayah. Gelak tawa remaja dengan bersegaram SMA membuatnya merasa ingin menjadi bagian dari mereka, dimana ia bisa menikmati hidup layaknya anak – anak pada usiannnya, namun itu semua itu hanya angan – angan baginnya.
Setiap hari waktunya dihabiskan hanya untuk membuat dan menjual batagor.  Dengan gajih hanya sebesar Rp 400.00,00 per bulan membuatnya merasa tidak sebanding dengan apa yang ia harus lakukan. Namun itu semua dilakukannya dengan penuh keyakinan, sembari berharap ada keberuntungan datang menghampirinya. Disaat para remaja yang lain sedang asik bersolek didepan beningnya cermin kaca, tubuhnya yang hitam pekat bercucuran keringat yang membasahi, tak lagi ia risaukan demi kehidupannya yang lebih baik.
Tuhan Yang Maha Pemurah memang benar – benar memperhatikannya diatas surga, ketika ia sedang menjalani kesibukannya sebagai pedagang batagor tiba – tiba ayahnya menelfon sembari bertanya, apakah ia ingin bersekolah lagi. Pada awalnya beni enggan menjawab, namun karna ayahnya itu terus menanyakan akhirnya ia pun menjawab bahwa ia ingin bersekolah lagi. ”  Namun uang dari mana, sekolahkan mahal ?” tanyanya kepada sang ayah.
Akhirnya sang ayah pun menjelaskan bahwa ketika ia menghadiri arisan, ia ditawari oleh seseorang yang bekerja di LMDH yang bernama kang Udin untuk menyekolahkan beni, di Purwokerto tanpa dipungut biaya layaknya sekolah lain. Mendengar penjelasan tersebut, senyum yang tadinya tak pernah terpancar dari wajahnya akhirnya keluar juga. Dengan rona wajah yang bahagia ia pun akhirnya meng iyakan tawaran tersebut.
Dengan bersekolah harapannya, ia bisa mewujudkan impiannya dan juga membuktikan kepada orang yang telah menghinannya bahwa, ia yang selalu dilecehkan juga bisa lebih dari mereka.  Di PLKM Boarding School “ Mbangun Desa” Beni  dan kawan – kwan seperjuangannya di ajarkan untuk hidup mandiri dan belajar untuk membangun kehidupannya sendiri juga kehidupan orang lain. Belajar untuk kehidupan yang lebih baik adalah rutinitasnya dan juga teman – temannya di PLKM Boarding School “ Mbangun Desa”.
Mimpi itu memang belum padam dihatinya, mimpi dimana ia bisa membahagiakan kedua orang tuanya, adik – adiknya, dan juga mereka yang telah mecemoohnya. Kini saatnya bagi Beni memulai mimpinya dengan aksi nyata.

SEMOGA SUKSES KAWAN, KITA BELI DUNIA INI DENGAN SENYUMAN PRESTASI

Minggu, 05 Januari 2014

partisipatif aktif learning di boarding school mbangun desa



Sekolah tak ubahnya miniatur masyarakat.
Suasana sekolah anak mempengaruhi kondisi anak di masyarakat.
sumber : sekolah untuk kehidupan

seminggu sebelum masa liburan akhir semester, seorg guru menemui kepala sekolah menagih janji. "Pak, saya mau mengajukan cuti ssuai dengan janji Bapak dulu". Memang,diawal semester lalu guru yang bersangkutan pernah mengajukan permohonan bahwa diakhir semester ia akan berlibur bersama keluarga. Kebetulan tanggal keberangkatannya lebih awal,karena itulah ia minta izin.
"Oh ya, dulu anda berjanji bahwa akan menyelesaikan tugas-tugas anda secara tuntas sebelum mengambil cuti kan?" jawab kepala sekolah sambil balik bertanya. "Sudah pak, Jawabnya.
sambil menatap wajah guru tersebut, kepala sekolah lalu melanjutkan bicaranya. "OK, sekarang anda tunjukkan bukti bahwa tugas-tugas anda di semester ini sudah selesai".
"Baik Pak, catatan harian ini membuktikan bahwa semua materi pelajaran telah saya sampaikan kepada siswa disemua kelas yang diajar.ini daftar nilai akhir yang akan dimasukkan ke raport,semuanya lengkap pak," jawab guru dengan yakin.
"Oke, saya tahu pada setiap kali melakukan supervisi, anda telah menyampaikan semua materi pelajaran, namun saya belum dapat laporan bagaimana dengan hasil pencapaian kompetensi anak, terutaram si wahyu yang beberapa bulan yang lalu mengalami hambatan, bagaimana dia sekaran? tanya kepala sekolah lagi.
"Sudah pak, Wahyu sudah dua kali mengikuti remedial, sekarang nilainya sudah mencapai KKM Pak"
"Hmmm,baik, sekarang tolong panggilkan wahyu kesini" kata kepala sekolah.
ketika si wahyu datang, kepala sekolah memberikan selembar kertas,wahyu diminta mengerjakan sesuatu. kesimpulan kepala sekolah, ada beberapa kompetensi wahyu yang belum tuntas, padahal seharusnya sudah tuntas sesuai dengan batas minimal yang ditetapkan oleh guru.
"Menurut laporan Ibu tadi, semua tugas telah selesai, tapi kenyataannya si wahyu belum bisa apa-apa". tanya kepala sekolah.
ibu guru berupaya meyakinkan kepala sekolah dan melakukan pembelaan diri. salah satu alasan yang dianggapnya paling tepat adalah , "Wah itu bukan salah saya Pak, sewaktu saya menjelaskan topik yang berkaitan dengan kompetensi yang Bapak tanyakan itu, si Wahyu selalu main-main Pak, dia tidak mau konsentrasi ke pelajaran, dan saya sudah mengingatkan dia waktu itu, tapi dia membandel. wahyu itu memang terkenal bandel dan malas Pak", jawab guru, sambil berharap kepala sekolah memaklumi bahwa itu bukan kesalahan dia sebagai guru, tapi murni kesalahan anak.
kepala sekolah makin memperlihatkan wajah serius. lalu ia menceritakan sebuah kisah tentang seorang juragan yang menyewa pemburu profesional untuk menangkap harimau di hutan. "Kamu saya panggil kesini karena kamu terkenal sebagai pemburu profesional. saya ingin mengoleksi boneka harimau yang asli, untuk itu kamu saya bayar untuk mendapatkan harimau itu. ini senjata lengkap dengan 20 peluru", kata juragan itu kepada pemburu yang lolos seleksi. lalu si pemburu berangkat kehutan sambil membayangkan bayaran yang tinggi.
setelah beberapa hari, sang pemburu profesional kembali dari hutan dan menagih janji sang juragan.
"Bos, mana bayaran saya? tanya si pemburu
"Bayaran apa?" jawab sang juragan berlagak pilon.
"Wah Bos kan berjanji akan membayar saya, dan saya telah melaksanakan tugas saya."
"Lho apa bukti bahwa kamu telah melaksanakan tugas-mu? kata juragan.
"ini peluru yang juragan kasih ke saya sudah habis saya tembakkan, kata sang pemburu.
"Lha harimaunya mana? tanya juragan.
"Nah, ini dia Bos, waktu saya tembak, harimaunya meloncat dengan lincah, berkali-kali saya tembak, tapi harimaunya memang hebat, ia bisa mengelak dari terjangan peluru, sampai pelurunya habis Bos", jawab si pemburu dengan enteng.
Si Juragan tidak mau kalah, "Kalau menembak harimau yang sedang Tidur, atau harimau jinak yang tidak bisa melompat dengan cepat, saya tidak perlu menyewa pemburu profesional seperti kamu. Justru karena ketangkasan harimau seperti itu, maka saya menyewa kamu!" jawab juragan.
Diakhir cerita, kepala sekolah menegaskan, jika untuk mendidik ANAK PINTAR,RAJIN,PATUH dan PENURUT, saya tidak perlu mempekerjakan GURU PROFESIONAL seperti ANDA. Tuntasnya tugas seorang GURU bukan diukur dari habisnya materi pelajaran disampaikan kepada siswa.melainkan dibuktikan dengan peningkatan kompetensi yang dikuasai siswa.
Keberhasilan guru menuntaskan tugasnya dilihat dari perubahan perilaku anak, yang tadinya tidak pintar menjadi pintar,tadinya tidak tahu menjadi tahu,tadinya tidak bisa menjadi bisa, malas menjadi rajin,nakal menjadi baik, dan seterusnya. semua anak berubah ke arah yang makin baik. "Itu ukuran ketuntasan tugas seorang guru yang Profesional, apalagi anda sudah menerima tunjangan SERTIFIKASI". kata kepala sekolah.
cerita di atas mengingatkan kita bahwa selama ini yang disebut sebagai "Kurikulum tuntas 100 %" adalah tuntasnya materi disampaikan oleh guru, bukan tuntas dikuasainya oleh anak. Dalam pemahaman guru pada umumnya, tuntas kurikulum berbeda dengan daya serap siswa, dan selama ini dianggap wajar jika ada kesenjangan antara ketuntasan kurikulum dengan daya serap siswa. sementara tingkat daya serap juga hanya diukur dengan nilai angka, tidak dijelaskan bagaimana yang sudah dikuasai dan mana yang belum dikuasai anak.
Kurikulum bukan sekedar deretan materi yang harus diajarkan, melainkan juga proses bagaimana mengkondisikan agar setiap ana menguasai kompetensi dasar dalam batas toleransi yang ditetapkan. dalam hal ini kurikulum juga berperan sebagai integrator.
sebagai integrator, kurikulum mengintegrasikan berbagai sub-sub kemampuan menjadi suatu kemampuan yang utuh. dalam kontek ini, tidak ada kemampua yang lebih penting dari pada yang lain, semua memiliki konstribusi sesuai porsinya masing-masing.
Eric Jensen menyimpulkan bahwa proses pembelajaran yang hanya bertujuan untuk menuntaskan materi dengan menggunakan ceramah satu arah, biasanya dihari pertama anak mendapatkan informasi tersebut, si anak merasa dapat banyak sekali pengetahuan, namun semua informasi itu pelan-pelan akan menghilang di hari ke-14.
Akan tetapi, jika proses pembelajaran itu mengarah pada penguasaan kompetensi dimana siswa sangat aktif mengembangkan kemampuannya, dihari pertama seolah-olah materi yang didapatkan anak hanya sedikit, namun ia akan terus berkembang menanjak di hari ke-14.
Nah, jika demikian, tidak akan terjadi masalah jika tiga tahun kemudian anak diuji melalui UN. mereka diuji pada saat  penguasaan kompetensi berada di PUNCAK, sebaliknya, pembelajaran konvensional akan membahayakan anak karena semua informasi akan hilang dari memori di hari ke-14. Bagaimana dengan 3 tahun kemudian ?

sepasang sepatu yang tulus, menjadi mean of life

Jumat, 03 Januari 2014

sekolah itu mahal



“SEKOLAH TIDAK GRATIS, TAPI HARUS PRODUKTIF”
oleh : syukur aditya
Sekolah gratis, banyak sekali orang-orang mengharapkan pendidikan di indonesia semua gratis, mulai dari SD-perguruan tinggi. Tapi apa yang kini terjadi di negri ini? Banyak sekolah tingkat SLTA dan juga perguruan tinggi yang biayanya sangat mahal, apalagi jika sekolah tersebut tergolong sekolah favorit, jusru jauh akan lebih mahal. Padahal setiap sekolah sudah ada anggaran BOS (bantuan operasional sekolah) setiap tahunnya. Antara menjadi pendidik dan juga pembisnis di sekolah. Selalu ada uang,  uang gedung, SPP, uang praktek, dan juga uang untuk lest jika UN sudah dekat.
Namun, ada yang berbeda di Kabupaten Banyumas. Di kabupaten tersebut ada sebuah sekolah tingkat SLTA sekolahnya memang tidak gratis, tapi harus produktif agar kegiatan pembelajaran dan juga pemenuhan kebutuhan di sekolah bisa terpenuhi. Sekolah ini bernama Pendidikan Layanan Khusus Menengah Boarding School "Mbangun Desa". Sebuah sekolah yang di disain agar peserta didiknya siap untuk menjadi kader pembangun desa agar siap hidup di desa dan juga berbuat di desa. Salah satunya belajar berwirausaha di sekolah ini. JENIUS, kelompok wirausaha ini bergerak di bidang makanan tradisional khas banyumas ada manggleng, cantir, dan juga ampyang. Kemudian ada EMDEHA, kelompok wirausaha ini bergerak di bidang sendal bandol. Dua kelompok wirausaha ini kami jalankan sendiri oleh peserta didik, mulai dari pembuatan sampai pemasaran,. Kendala di wirausaha ini yaitu dalam pemasaran belum ada produsen yang menyalurkan produk kami.
Besar harapan kami suatu saat prodak yang kami miliki ini bisa berjalan dengan lancar dan bisa dilakukan oleh banyak orang untuk bisa berwirausaha tanpa mereka merantau ke kota dan mencari sumber penghidupan disana.

Saatnya yang muda berkarya untuk desa,,,,,